“Dasar cermin tak berguna!”, untuk yang kesekian kalinya aku memaki cermin ini. Bagaimana bisa sebuah cermin terasa begitu buram? Bahkan dia sama sekali tak bisa menampakkan betapa rupawannya wajahku. Sia-sia saja aku bercermin kalau tak bisa melihat hasilnya. Sial!
Tok tok tok tok
“Bangun Nak..ini sudah siang..”, itu suara sok lembut emakku. Emak yang sama tak bergunanya dengan cermin di kamar jelekku ini.
“Aku sudah bangun. Mau apa?!”, teriakku masih sambil mematut diri di depan cermin buram ini.
“Tak apa, emak cuma memastikan saja. Emak khawatir sama kamu Nak..”.
Selalu begitu, selalu sok perhatian, berlebihan sekali emakku itu. Apakah dia lupa kalau anaknya yang tampan ini sudah genap berusia 24 tahun? Bagaimana bisa dia memperlakukanku seperti anak kecil? Perhatian yang dia berikan untukku itu tak berguna. Toh, aku akan masih terus hidup walau tak mendapat perhatian darinya.
Aku keluar kamar dan mendapati emak masih berdiri di dekat pintu kamarku, ‘mau apa lagi dia?’
“Kamu mau kemana, Nak?”
“Mana makanan untukku? Aku lapar!”
“Kau tak ingat kalau hari ini hari pertama bulan Ramadhan?”
“Lantas apa urusannya denganku? Aku lapar dan aku butuh makan! Cepat sediakan makanan untukku!!”
“Tadi malam emak sudah membangunkanmu untuk sahur. Tapi kamu tak kunjung bangun juga. Emak pikir kau akan menyusul untuk sahur, dan emak menunggu disini..tapi ternyata kamu tak bangun juga. Maafkan emak”
“Aku tak butuh permintaan maaf! Aku butuh makan! Dengar tidak?! Kalau kau tak mau menyiapkan makan untukku. Biar aku pergi saja! Merepotkan sekali kau ini!”
Kulihat emakku beringsut menjauhi pintu kamarku dan membiarkan aku lewat.
Oh! Dan ekspresi sedih dari wajahnya itu membuatku muak! Dia sama sekali tak pernah memperlihatkan ekspresi yang menyenangkan untukku. Kecuali ketika dulu masih ada Bapak.
Dan bicara mengenai Bapak, dia sudah pergi. Bapak pergi ke surga, di Rumah Allah. Itu kata emak ketika aku menanyakan dimana Bapak ketika usiaku baru enam tahun. Sekarang usiaku dua puluh empat tahun dan aku tidak bodoh! Jadi aku tau kalau Bapakku itu sudah meninggal.
Dan kalian tau? Cermin buram yang ada di kamar jelekku itu adalah pemberian Bapakku keyika usiaku lima tahun.
“Sering-seringlah bercermin dengan cermin ini Nak..karena dari cermin inilah Bapak bisa melihat bagaimana pertumbuhanmu, bagaimana perubahan wajahmu. Dan bapak yakin ketika kamu dewasa nanti, wajahmu akan berubah menjadi sangat rupawan.”
Itu dulu ucapan dari Bapakku yang masih dapat kuingat. Dan aku membenarkan kalimatnya yang terakhir. Aku memang menjadi sangat rupawan sekarang. Kalian bertanya mengapa aku bisa menghafal kalimat sepanjang itu di usiaku yang baru lima tahun?
Bukankah tadi sudah kukatakan kalau aku ini tidak bodoh, aku ini cerdas! Jadi kalimat itu akan mudah terserap di otakku tanpa aku perlu menghafalnya!
Tapi, ada satu hal yang masih belum aku mengerti sampai sekarang. Bagaimana bisa Bapak melihatku dari cermin buram itu? Sedangkan aku sendiri saja tak bisa melihat wajahku dengan jelas.
Lalu, darimana aku tau kalau aku mempunyai wajah yang rupawan?
Semua orang yang berpapasan denganku mengatakan betapa rupawan dan tampannya aku. Jadi bagaimana bisa aku mengingkari itu?
Dan karena aku bercerita terlalu banyak pada kalian. Aku menjadi semakin lapar. Aku meninggalkan rumah jelek ini dan bergegas mencari kawan-kawanku.
Biasanya aku dan kawan-kawanku berkumpul di pertigaan sebelum masjid. Ternyata di luar sudah terik. Jam berapa ini?
Dari kejauhan kawan-kawanku sudah berteriak memanggil namaku. Aku melambaikan tangan dan bergegas menghampiri mereka. Dan hari ini akan aku habiskan bersama mereka.
* * *
Sekitar jam sembilan aku sudah sampai rumah. Dan emakku menyambutku di depan pintu dengan ekspresi sedihnya itu. Menyebalkan!
“Kamu sudah makan, Nak? Emak menunggumu untuk buka puasa di rumah, tapi sampai emak pulang tarawih kamu ternyata belum pulang. Kamu mau makan sekarang? Biar emak hangatkan dulu sayurnya.”
“Jangan banyak bicara, cepat siapkan makanan untukku. Kau tau? Gara-gara kau tak menyiapkan makanan untukku tadi pagi aku hanya makan mi instan di warung Kang Diman. Jadi cepatlah hangatkan makanan itu!”
Tanpa banyak bicara lagi, emak segera berlari kecil menuju dapur dan menyiapkan makanan untukku.
“Nak, apa kamu butuh celana baru?”
“Tak bisakah kau berhenti menanyakan hal itu? Lagipula aku sedang makan, jangan menggangguku!”
Kulirik emak yang langsung diam ketika aku membentaknya. Aku paling tidak suka diganggu ketika makan.
“Aku sudah selesai! Aku mau tidur!”
“Apa kamu ingin emak jahitkan celana? Emak perhatikan kau tak pernah mengganti celanamu”
“Tak usah! Aku suka celana ini!”
“Tapi itu sudah robek, Nak..tidakkah kamu malu? Biasanya kamu malu jika bajumu robek dan menyuruh emak untuk menjahitkannya”
“Ini robek karena aku sengaja merobeknya, dan tak taukah kau kalau celana seperti ini yang juga dipakai oleh kawan-kawanku? Jadi diamlah! Aku tak butuh celana jahitanmu! Dan berhenti memaksaku untuk memakai celana yang akan kau jahitkan untukku! Aku akan pergi tidur, dan berhenti menggangguku!!”
“Tadi kamu tarawih dimana Nak? Emak tak melihatmu tarawih di masjid dekat pertigaan”
Aku mengabaikan pertanyaan emakku dan berlalu menuju kamarku.
Ah! Semakin menyebalkan saja emakku itu! Aku malas tarawih! Dan untuk apa juga aku tarawih? Membuang waktu saja!
Begitulah, setiap hari emak selalu menanyakan apakah aku butuh celana baru atau tidak. Jika dia tak menanyakan tentang celana. Dia selalu memintaku untuk menjadi imam ketika dia sholat. Bagaimana aku bisa jadi imam kalau cara sholat saja aku sudah lupa?
Terakhir kalinya aku sholat adalah ketika usiaku enam tahun. Waktu itu bapak yang menjadi imamnya. Dan yang kuingat waktu itu adalah betapa bahagianya keluarga kami. Sampai akhirnya Bapak meninggal karena sebuah kecelakaan konyol yang disebabkan oleh emakku.
Emak membakar rumahku!
Bukan rumah jelek ini. Dulu kami tinggal di rumah yang jauh lebih baik dari rumahku yang sekarang. Emak bilang dia sungguh tak sengaja melakukannya, tapi aku tak percaya! Dan sampai sekarangpun aku tak akan percaya.
Setelah sholat berjamaah itu, aku melihatnya dengan jelas menyalakan api di dapur. Dia tidak memasak, dia hanya menyalakan api. Dia membiarkan api itu semakin membesar dan setelah itu dia memintaku untuk keluar dari rumah
Tentu saja aku tak mau!
Bapakku masih ada di dalam rumah, bagaimana mungkin aku meninggalkannya?
Tapi emakku yang menyebalkan ini memaksaku untuk ikut dengannya meninggalkan bapakku.
Dia mengajakku ke rumah Pakdhe Joko dan mengatakan bahwa dia tak rela jika Bapak hidup lebih lama lagi.
Benar saja, keesokan harinya aku mendengar kematian Bapakku. Terpanggang di dalam rumahnya sendiri.
Dari semua kejadian yang kusaksikan sendiri itu, bagaimana mungkin aku bisa percaya kalau emakku memang tak sengaja melakukannya??!!
“Adit tak usah bersedih, Bapak sudah pergi ke surga, ke Rumah Allah”, begitu kata emakku ketika itu.
Aku benci emakku! Dia yang membunuh Bapakku!
Ketika aku bangun keesokan harinya, emak sudah tak ada di rumah Pakdhe Joko bersamaku. Keman dia setelah membunuh Bapakku?!
Kata Pakdhe Joko, emak depresi ketika perusahaan Bapak bangkrut. Jadi dia menjadi membenci Bapak dan tak ingin melihat Bapak lagi.
Depresi? Bangkrut? Aku tak mengerti apa maksud Pakdhe Joko saat itu. Usiaku baru enam tahun dan aku sudah kehilangan Bapak dan Emak dengan cara yang sangat tak aku mengerti. Jadi aku hanya diam saja dan menurut untuk tetap tinggal bersama Pakdhe Joko dan mulai bersekolah disana.
Setelah sepuluh tahun kepergian emakku, dia kembali lagi. Ketika itu usiaku sudah enambelas tahun dan baru menamatkan Sekolah Menengah Pertamaku.
Pakdhe bilang kalau aku bisa langsung melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas. Tapi emakku membawaku pergi. Aku berpikir dia akan membiarkan aku melanjutkan sekolahku. Tapi dia mengatakan bahwa tak ada biaya untuk melanjutkan sekolahku.
Hah! Aku semakin membenci emakku!
* * *
Seperti biasanya, aku mematut diri di depan cermin buram sebelum pergi bersama kawan-kawanku. Aku tak akan pernah bosan bermain bersama mereka. Karena hanya bersama mereka aku merasa bebas. Dan tentu saja aku tak akan menjumpai ekspresi menyedihkan dari wajah emakku itu.
“Dit, apa kamu tak ingin mencoba berbaikan dengan emakmu? Kasihan..beliau selalu menanyakan keadaanmu padaku”. Oh, itu suara Arya, satu-satunya kawanku yang mengetahui masalahku dengan emakku.
“Apa maksudmu?”
“Emakmu khawatir padamu Dit, lagipula kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Tak bisakah kau mencoba memaafkan emakmu?”
“Berhenti menceramahiku! Bertahun-tahun aku berkawan denganmu, dan baru hari ini kau menjadi sangat menyebalkan hanya karena kau membela emakku! Kau sama menyebalkannya dengan dia!”
Entah kenapa aku jadi malas bersama kawan-kawanku hari ini. Kuputuskan untuk keliling kampung saja.
“Mas Adit..Mas Adit..”, suara siapa itu?
Aku menoleh dan melihat seorang anak lelaki berusia sekitar enam tahunan berdiri di belakangku sambil menarik-narik ujung kaosku. Melihatnya seperti melihatku ketika kecil dulu.
“Mas Adit mau kemana? Aku boleh ikut?”
“Hei! Anak siapa kau? Kenapa tampan sekali sepertiku?”
“Benarkah aku tampan seperti Mas Adit?”
“Ya, tentu saja! Siapa namamu?”, aku berjongkok untuk mengimbangi tinggi anak kecil ini.
“Namaku Adit”, ujarnya malu-malu
“Bahkan, nama kita sama. Kau benar-benar mirip seperti aku waktu kecil dulu. Ngomong-ngmong kau mau kemana, Adit?”
“Aku ingin ikut ke rumah Mas Adit, maukah Mas Adit mengajakku?”
Aku kan tidak ingin pulang ke rumah. Bagaimana ini? Aku tak tega jika harus mengabaikan anak kecil ini. Terlebih lagi dia sangat mirip denganku.
“Hmmmmm..baiklah, mari Mas Adit gendong kamu”
“Aku bukan anak kecil, Mas..aku bisa berjalan sendiri. Cukup tuntun saja tanganku ke rumah Mas Adit”
Bahkan cara bicaranya seperti aku ketika kecil dulu. Siapa sebenarnya anak ini?
“Mas Adit, aku lapar..apakah ada makanan?”, baru saja aku membuka pintu rumah dan anak kecil ini sudah meminta makan?
“Apa mas Adit heran? Kata emak, aku belum boleh puasa dulu. Nanti kalau aku sudah dewasa seperti Mas Adit barulah aku boleh berpuasa”, belum sempat aku berkata apa-apa dia sudah berucap seperti itu.
Aku ingat kata emak dulu, ketika usiaku seperti anak ini aku juga bersikeras ikut puasa. Tapi emak melarangku karena belum waktunya aku puasa. Padahal dulu Bapak sudah mengizinkan aku latihan puasa, tapi emak tetap melarangku.
“Mas…aku kan lapar..”, suara anak ini membuyarkan lamunanku tentang emakku yang sangat mirip emak dari anak kecil ini.
Kuputuskan untuk memberinya makanan tadi pagi yang sudah disiapkan emak untukku, jam segini emak pasti ke ladang. Syukurlah dia tak di rumah. karena aku sedang tak ingin melihat wajahnya.
“Aku sudah kenyang Mas, aku ngantuk. Aku ingin tidur di kamar Mas Adit. Harus boleh!”. Bahkan cara dia memaksa sama sepertiku dulu.
Ketika dia pertama kali masuk kamarku, dia langsung mematut diri di depan cermin buram pemberian Bapak.
“Wah..ternyata aku memang sangat tampan seperti Mas Adit!!”, ujarnya girang
Tapi tunggu dulu..bagaimana mungkin wajahnya terlihat begitu jelas di depan cermin buram itu? Sedangkan aku yang berdiri di sampingnya sama sekali tak bisa melihat pantulan wajahku dengan jelas. Apa yang salah disini?
Aku memandang pantulan wajah anak kecil ini di dalam cermin. Dia benar-benar seperti aku. Bukan! Bukan seperti! Tapi anak ini adalah aku! Bagaimana bisa?
“Adit tau kalau sebenarnya Mas Adit sangat menyayangi emak, tapi Mas Adit hanya tak mau mengakuinya. Adit juga sayang sama emak. Emak yang sudah menjahitkan celana bagus ini untuk Adit, emak juga yang menjahitkan kaos biru kesayangan Adit ini ketika kaos ini robek tersangkut paku. Adit sayang sama emak. Kalau nggak ada emak, pasti Adit juga nggak ada”
Aku terdiam cukup lama meresapi kalimat Adit kecil.
Aku ingat betapa dulu emak sangat menyayangiku. Sebenarnya aku sangat membenci emak karena keegosianku sendiri.
Aku terlalu pengecut untuk mengakui bahwa aku sangat menyayangi emakku. Emak yang selalu menjahitkan celana dan kaos kesayanganku. Emak yang selalu perhatian padaku.
Bagaimana bisa aku membencinya selama bertahun-tahun seperti ini? Apa yang sudah kulakukan?
Perlahan, aku memandangi pantulan diriku di dalam cermin ini dan melihat bayangan Adit kecil tersenyum padaku. Aku menangis dalam diam.
Bukan cermin buram ini yang tak berguna, tapi mata hatiku lah yang tertutup untuk menyadari keegoisanku.
Bukan emak yang tak berguna, tapi akulah anak yang tak berguna karena bertahun-tahun hanya mampu membencinya.
Kulihat sekali lagi pantulan diriku di cermin buram ini, tapi..dimana Adit kecil? Sekarang aku hanya melihat pantulan diriku dengan jelas. Aku ulangi. DENGAN JELAS!
Aku berlari menuju kamar emakku. Aku melihat sebuah celana berwarna abu-abu, warna kesukaanku tergeletak di atas ranjang emak.
Betapa aku sangat merindukan emak..
Aku bersalah Mak, maafkan aku…
Aku menangis dalam hening kamar emak. Tertidur dan bermimpi menggandeng tangan emak menuju masjid dekat pertigaan untuk sholat tarawih bersama.
* * *
Tutycha F. Karisma
16 Juli 2014
11:53am