PUTRI

By | July 25, 2022

Wajahnya murung. Dia kelihatan tidak bahagia. Setiap sore aku melewati rumahnya, dan setiap kali itulah kulihat dia duduk bersandar di kursi ayunan depan rumahnya. Dia hanya duduk terpaku tanpa menoleh, hanya menunduk dan memegang sebuah bingkai foto.
Entah gambar apa yang ada di balik bingkai foto itu?

Aku tak pernah berani mendekatinya.
Takut.
Dia tak seperti dulu lagi. Ketika masih kanak-kanak, dia sering berbagi mainan denganku. Walaupun aku anak laki-laki, aku lebih suka bermain dengannya daripada dengan teman laki-laki yang lain.
Banyak yang mengejekku waktu itu, tapi aku tak peduli.

“Heh! Anak laki-laki kok main sama anak perempuan?? Main apa ini??”, salah satu anak laki-laki itu merampas boneka yang dipegang Putri.

“Mau apa kamu? Kembalikan boneka Putri!”, aku merampas kembali boneka milik Putri dan kami meninggalkan segerombolan anak-anak nakal itu.

Putri tersenyum padaku, senyum yang sangat manis, yang kini amat kurindukan.
Tak pernah lagi kulihat senyum Putri seperti itu, bahkan setelah 8 tahun terakhir.

Kini, yang dapat kulihat hanya wajahnya yang murung.

Aku terus berjalan melewati rumahnya, ingin rasanya aku berbelok dan menyapanya seperti ketika mengajaknya bermain dulu. Tapi kurasa kini sudah tak bisa lagi seperti itu.

***

Kini aku sudah 18 tahun, begitu juga Putri. Kami satu SMA dan juga masih satu kelas
Setiap pulang sekolah, aku tak bisa menemui Putri, di kelaspun dia hanya diam saja.
Tak ada yang bisa aku lakukan.

Sore ini dia kembali duduk di ayunan itu dan menunduk murung. Kali ini aku mencoba mendekatinya, tidak bisakah dia berbicara padaku?
Teman masa kecilnya dulu.

Aku melangkah melewati gerbang rumahnya yang dibiarkan terbuka.

“Braaaaakkkkkkkkk!!! Apa maumu?? Kenapa selalu mencampuri urusanku??”, terdengar teriakan yang cukup keras dari dalam rumah Putri.
Kuhentikan langkahku.

Apa yang terjadi? Suara itu terdengar seperti suara ayah Putri.

Kuurungkan niatku yang ingin bicara pada Putri ketika kulihat dia berlari menuju belakang rumahnya sambil menutup telinga.

Bingkai foto yang selalu dibawanya terjatuh, aku memungutnya.
Ternyata foto keluarga, foto ayah dan ibu Putri tersenyum sambil merangkul Putri kecil, mungkin ketika dia berumur 8 tahun, ketika kami masih sering bermain bersama.

Kuletakkan foto itu di kursi ayunan, pasti nanti Putri akan mengambilnya lagi.
Aku berjalan pulang.
Apakah putri murung gara-gara ayah dan ibunya sering bertengkar? Mungkin saja, batinku..

***

Sore ini, aku datang lagi ke rumahnya. Putri tak ada di ayunan seperti sore-sore biasanya. Pintu gerbangnya pun dikunci, aneh.
Dimana dia?

“Maaf pak, saya mau cari Putri..dimana ya?? Biasanya dia duduk disitu”, tanyaku pada seorang laki-laki tua yang membersihkan halaman rumah Putri.
Kutunjukkan dimana biasanya Putri ketika sore seperti ini.

“Dia ada di dalam”, jawabnya singkat lalu membukakan pintu gerbang untukku, “langsung saja masuk”.

Aku memasuki rumah Putri mengendap-endap seperti seorang pencuri.
Sepi.

Aku menelusuri rumah Putri, ruangan demi ruangan.

“Ayaaahhh….Putri mohon! Berhenti memukul ibu, Putri mohon…”, kudengar suara Putri menghiba pada Ayahnya.

Suaranya berasal dari ruang tengah.

“Anak kecil!! Tau apa kamu?? Sana pergi!!”, bentak ayah Putri dan kembali memukul ibunya.

Putri terisak, begitu juga ibunya. Sungguh, tak seharusnya aku telah melihat sebuah kejadian yang boleh kulihat.
Aku ingin pergi dari sini. Tapi di sisi lain, aku ingin mengetahui apa yang membuat Putri murung selama ini.
Aku baru saja mendapatkan setengah informasi dan aku rasa aku ingin tahu lebih banyak.

Mereka masih tak menyadari keberadaanku.

Setelah terjadi pertengkaran hebat antara ayah dan ibu Putri,

“Duuuuukkkkkkk!!!!”, ayah membenturkan kepala ibu Putri,

“Ayaahh!! Cukup!! Putri muak!!”, Putri menuntun ibunya berdiri dan memeluk ibunya yang pingsan dan berlumuran darah.

Tiba-tiba ayahnya berbalik,

“Pukul saja Putri!! Jangan pernah sakiti ibu!!”, Putri masih memeluk ibunya yang belum sadarkan diri.

Haruskah aku memanggil polisi??
Ataukah diam saja seperti ini??

“Putri…maafkan ayah..ayah benar-benar menyesal”, wajah ayah Putri yang tadinya garang dan bengis berubah seketika menjadi lunak dan penuh rasa bersalah.

“Cukup, Yah!! Putri benar-benar muak dengan semua ini!! Ayah selalu memukul ibu, selalu!! Lalu ketika ibu pingsan ayah akan menghiba dan meminta maaf atas apa yang ayah lakukan, sungguh! Putri muaakkk!!”, Putri memandang ayahnya dengan tatapan benci.

Kini, giliran ayah putri yang menangis.

Putri hanya mampu terduduk diam di sebelah ibunya, wajahnya terlihat jauh lebih murung dari biasanya.

***

Sore ini, aku masih melihat Putri yang duduk termenung. Murung di kursi ayunan, dan seperti biasanya, aku tak berani datang dan menghiburnya.
Aku hanya melihatnya sekilas dan melewatinya begitu saja.

***

Tutycha F. Karisma
Rembang, 28 Juli 2011
08:36pm

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *